Rabu, 25 Maret 2015

Kunci Menuju Kebahagiaan


Selamat tinggal kesedihan...
Selamat tinggal kecemasan...
Selamat tinggal ketakutan...
Selamat datang kebahagiaan...!!!!

Ada 30 resep yang anda harus resapi dalam fikiran dan hati anda. Inshaa Allah, Allah akan mendatangkan kebahagiaan.
1. Sadarilah bahwa jika anda tidak hidup hanya dalam batasan hari ini saja, maka terpecahlah pikiran anda, akan kacau semua urusan, dan akan semakin menggunung kesedihan dan kegundahan diri anda. Sabda Rasulullah SAW: "Jika pagi tiba, janganlah menunggu sore, dan jika sore tiba, janganlah menunggu hingga waktu pagi.
2. Lupakankah masa lalu dan semua yang pernah terjadi, karena perhatian yang terpaku pada yang telah lewat merupakan kebodohan dan kegilaan.
3. Jangan menyibukkan diri dengan masa depan, sebab ia masih berada di alam gaib. Jangan pikirkan hingga ia datang dengan sendirinya.
4. Jangan mudah tergoncang oleh kritikan, jadilah orang yang teguh pendirian, dan sadarilah bahwa kritikan itu akan mengangkat harga diri anda setara dengan kritikan tersebut.
5. Beriman kepada Allah, dan beramal saleh adalah kehidupan yang baik dan bahagia.
6. Barang siapa menginginkan ketenangan, keteduhan dan kesenangan, maka dia harus berdzikir kepada Allah.
7. Hamba harus menyadari bahwa segala sesuatu berdasarkan ketentuan qadha dan qadar.
8. Jangan menunggu ucapan terima kasih dari orang lain.
9. Persiapkan diri anda untuk menerima kemungkina terburuk.
10. Kemungkinan yang terjadi itu ada baiknya untuk diri anda.
11. Semua qadha bagi seorang muslim baik adanya.
12. Berfikirlah tentang nikmat, bersyukurlah.
13. Anda dengan semua yang ada pada diri anda, anda sudah lebih banyak memiliki dibanding yang dimiliki orang lain.
14. Yakinlah dari waktu ke waktu selalu ada jalan keluar.
15. Yakinlah dengan musibah hati akan tergerak untuk berdoa.
16. Musibah itu akan menajamkan nurani dan menguatkan hati.
17. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan.
18. Jangan pernah hancur hanya karena masalah yang sepele.
19. Sesungguhnya Allah itu Maha Luas ampunanNya.
20. Jangan marah, jangan marah, jangan marah....!!!
21. Kehidupan ini tak lebih hanya sekedar makanan, minuman dan bayangan. Maka, tak usah bersedih jika semua itu ada.
22. Dan di langit terdapat sebab-sebab rizkimu dan terdapat pula apa yang dijanjikan kepadamu (Adz-Dzariyat:22)
23. Kebanyakan dari apa yang anda takutkan tidak pernah terjadi.
24. Pada orang-orang yang tertimpa musibah itu ada suri tauladan.
25. Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan atas mereka.
26. Ulangilah doa-doa untuk menghapuskan bencana.
27. Anda harus melakukan perbuatan yang baik dan membuahkan, dan tinggalkanlah kekosongan.
28. Tinggalkanlah semua desas-desus, dan jangan percaya kepada kabar burung.
29. Kedengkian dan keinginan anda yang kuat untuk membalas dendam itu akan membahayakan kesehatan anda sendiri. Lebih besar daripada bahaya yang akan menimpa pihak lawan.
30. Semua musibah yang menimpa diri anda adalah penghapus semua dosa-dosa.

Alhamdulillah.... Selamat Berbahagia.

Selasa, 24 Maret 2015

Siapakah Orang Kuat Itu?



BANYAK yang menilai bahwa orang yang kuat itu adalah mereka yang memiliki keperkasaan fisik, berbadan tegap, menguasai keterampilan bela diri, dan tidak bisa tertandingi. Kalau hal tersebut dikatakan benar, maka pegulat, petinju dan sejenisnya akan dinobatkan sebagai manusia kuat.
Rasulullah SAW bersabda, “Orang kuat bukanlah yang bisa menjatuhkan lawannya di area gulat. Orang kuat adalah yang mampu mengendalikan diri (mengontrol hawa nafsunya).” Itu artinya, kekuatan tidak selamanya diukur dari kemampuan mempertahankan diri, tapi bagaimana kita bisa mengendalikan emosi dan rasa marah.
Ali bin Abi Thalib, sahabat dan menantu Rasulullah SAW, adalaj seseorang yang mengamalkan ajaran ini dengan baik. Di sebuah arena perang tanding, ia memerangi pertarungan sampai membuat lawannya tersungkur. Ketika ia hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba sang seteru meludahi mukanya, sehingga emosi Ali meledak dan dirinya kian terpacu untuk segera menghabisi sang musuh. Tetapi ia kemudian mengucap istighfar dan urung menebaskan pedangnya, ia pergi meninggalkan musuhnya. Ketika para pengikutnya bertanya tentang tindakan-tindakannya yang aneh itu, dia menjawab, “Aku tak mau memerangi musuhku karena disulut nafsu amarah.”
Allah berfirman:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku sayang dan lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..” (QS. Ali Imran ayat 159).
Untuk menjadi orang yang kuat sangat ditentukan sejauh mana kita dapat mengendalikan emosi, menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tercela. Orang yang kuat selalu bersikap menghormati, menghargai apapun yang telah dia terima atau dapatkan. Karena selayaknyalah kita selalu membalas kebajikan orang lain  dengan kebajikan juga. Bahkan sebaliknya balasan yang kita berikan harus lebih dari apa yang diberikan orang lain kepada kita.

Sumber: Jangan Putus Asa/karya: Masyhuril Khamis/penerbit: Republika

Kamis, 19 Maret 2015

Kisah Daun Dan Ulat


Musim hujan sudah berlangsung selama dua bulan sehingga di mana-mana pepohonan tampak menjadi hijau. Seekor ulat menyeruak di antara daun-daun hijau yang bergoyang-goyang diterpa angin.

“Apa kabar daun hijau!!!” katanya. Tersentak daun hijau menoleh ke arah suara yang datang.

“Oo, kamu ulat. Badanmu kelihatan kecil dan kurus, mengapa?” tanya daun hijau.

“Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku. Bisakah engkau membantuku sobat?” kata ulat kecil.

“Tentu … tentu … mendekatlah ke mari.”

Daun hijau berpikir, jika aku memberikan sedikit dari tubuhku ini untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau, hanya saja aku akan kelihatan belobang-lobang, tapi tak apalah

Perlahan-lahan ulat menggerakkan tubuhnya menuju daun hijau. Setelah makan dengan kenyang, ulat berterima kasih kepada daun hijau yang telah merelakan bagian tubuhnya menjadi makanan si ulat. Ketika ulat mengucapkan terima kasih kepada sahabat yang penuh kasih dan pengorbanan itu, ada rasa puas di dalam diri daun hijau. Sekalipun tubuhnya kini berlobang di sana sini, namun ia bahagia bisa melakukan bagi ulat kecil yang lapar.

Tidak lama berselang ketika musim panas datang, daun hijau menjadi kering dan berubah warna. Akhirnya ia jatuh ke tanah, disapu orang dan dibakar.

Apa yang terlalu berarti di dalam hidup kita sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama? Toh akhirnya semua yang ada akan binasa. Daun hijau yang baik mewakili orang-orang yang masih mempunyai “hati” bagi sesamanya.

Yang tidak menutup mata ketika melihat sesamanya dalam kesulitan. Yang tidak membelakangi dan seolah-olah tidak mendengar ketika sesamanya berteriak minta tolong.

Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain dan sejenak mengabaikan kepentingan diri sendiri. Merelakan kesenangan dan kepentingan diri sendiri bagi sesama memang tidak mudah, tetapi indah..

Ketika berkorban, diri kita sendiri menjadi seperti daun yang berlobang, namun itu sebenarnya tidak mempengaruhi hidup kita. Kita akan tetap hijau, Allah akan tetap memberkati dan memelihara kita.

Bagi “daun hijau”, berkorban merupakan satu hal yang mengesankan dan terasa indah serta memuaskan. Dia bahagia melihat sesamanya bisa tersenyum karena pengorbanan yang ia lakukan. Ia juga melakukannya karena menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal sebagai daun hijau. Suatu hari ia akan kering dan jatuh.

Demikianlah hidup kita, hidup ini hanya sementara kemudian kita akan mati. Itu sebabnya isilah hidup ini dengan perbuatan-perbuatan baik: kasih, pengorbanan, pengertian, kesetiaan, kesabaran dan kerendahan hati.

Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri bagi anda. Dalam banyak hal kita bisa berkorban.

Mendahulukan kepentingan sesama, melakukan sesuatu bagi mereka, memberikan apa yang kita punyai dan masih banyak lagi pengorbanan yang bisa dilakukan. Jangan lupa bahwa kita pernah menerima pengorbanan yang tiada taranya dari orang lain yang mungkin tidak kita sadari hingga kita bisa diselamatkan seperti sekarang ini.

Selasa, 10 Maret 2015

Kesabaran Pasti Akan Berbuah Manis


Alkisah jaman dahulu kala ada seorang petani miskin yang hidup dengan seorang puteranya. Mereka hanya memiliki seekor kuda kurus yang sehari-hari membantu mereka menggarap ladang mereka yang tidak seberapa. Pada suatu hari, kuda pak tani satu-satu nya tersebut menghilang, lari begitu saja dari kandang menuju hutan. Orang-orang di kampung yang mendengar berita itu berkata: “Wahai Pak Tani, sungguh malang nasibmu!”.

Pak tani itu hanya diam dan tersenyum. Keesokan hari nya, ternyata kuda pak Tani kembali ke kandangnya, dengan membawa 100 kuda liar dari hutan. Segera ladang pak Tani yang tidak seberapa luas dipenuhi oleh 100 ekor kuda jantan yang gagah perkasa. Orang-orang dari kampung berbondong datang dan segera mengerumuni “koleksi” kuda-kuda yang berharga mahal tersebut dengan kagum. Pedagang-pedagang kuda segera menawar kuda-kuda tersebut dengan harga tinggi, untuk dijinakkan dan dijual. Pak Tani pun menerima uang dalam jumlah banyak dan hanya menyisakan 1 kuda liar untuk berkebun membantu kuda tua nya.

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: “Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!”. Dengan tenang Pak tani hanya menjawab dengan senyuman. Keesokan hari nya, anak pak Tani pun dengan penuh semangat berusaha menjinakan kuda baru nya. Namun, ternyata kuda tersebut terlalu kuat, sehingga pemuda itu jatuh dan patah kaki nya.

Orang-orang di kampung yang melihat peristiwa itu berkata: “Wahai Pak tani, sungguh malang nasibmu!”. Pak tani menjawab, “Malang atau beruntungkah aku, Aku tidak tahu” Pemuda itupun terbaring dengan kaki terbalut untuk menyembuhkan patah kaki nya. Perlu waktu lama hingga tulang nya yang patah akan baik kembali. Keesokan hari nya, datanglah Panglima Perang Raja ke desa itu. Dan memerintahkan seluruh pemuda untuk bergabung menjadi pasukan raja untuk bertempur melawan musuh di tempat yang jauh. Seluruh pemuda pun wajib bergabung, kecuali yang sakit dan cacat. Anak pak Tani pun tidak harus berperang karena dia cacat.

Orang-orang di kampung berurai air mata melepas putra-putra nya bertempur, dan berkata: “Wahai Pak tani, sungguh beruntung nasibmu!”. Lagi-lagi dengan nada rendah hati Pak tani hanya menjawab, “Malang atau beruntung, Aku tidak tahu”

Kisah di atas mengungkapkan suatu sikap yang sering disebut: non-judgement. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan untuk memahami rangkaian kejadian yang di skenariokan Sang Maha Sutradara. Apa-apa yang kita sebut hari ini sebagai “kesialan”, barangkali di masa depan baru ketahuan adalah jalan menuju “keberuntungan”. Maka orang-orang seperti Pak Tani di atas, berhenti untuk “menghakimi” kejadian dengan label-label “beruntung”, “sial” dan sebagainya.

Karena siapalah kita ini menghakimi kejadian yang kita sunguh tidak tahu bagaimana hasil akhirnya nanti. Seorang karyawan yang dipecat perusahaan nya, bisa jadi bukan suatu “kesialan”, manakala ternyata status job-less nya telah memecut dan membuka jalan bagi diri nya untuk menjadi boss besar di perusahaan lain.

Maka berhentilah menghakimi apa–apa yang terjadi hari ini, kejadian–kejadian PHK, Paket Hengkang, Mutasi tugas dan apapun namanya yang selama ini kita sebut dengan “kesialan”, “musibah ”, dll. Karena sungguh kita tidak tahu apa yang terjadi kemudian dibalik peristiwa itu.

“Hadapi badai kehidupan sebesar apapun. Tuhan takkan lupa akan kemampuan kita. Kapal hebat diciptakan bukan untuk dilabuhkan di dermaga saja.”

Hal semacam ini juga sering terjadi pada diri kita jika kita mau memperhatikannya. Pertanyaannya, Apakah Anda sekarang mengalami Keberuntungan Atau Kemalangan?

Tapi ada pelajaran dalam Al Quran siapa yg beruntung itu :
"sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (91:9-10)

Dan kesabaran pasti berbuah manis... :)

Rabu, 04 Maret 2015

Khos Lilmutazawijin


Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Amin sampai di depan rumahnya. Hari ini ia pulang terlambat karena ada pekerjaan yang harus ia tuntaskan malam ini juga.
Rumahnya tampak sudah sepi dan terkunci rapat. Lampu di ruang tamu juga sudah dimatikan. Pertanda penghuninya sudah istirahat malam. Tidak ingin mengganggu siapapun, Amin turun dari mobil dan segera membuka pintu pagar. Ia selalu membawa kunci pintu pagar dan juga kunci pintu rumah ketika bepergian. Bunyi pagar berderit ketika didorong. Perlahan ia masukkan kendaraan, dan kembali mengunci pintu pagarnya. Tak lama kemudian ia membuka pintu rumah.
“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah. Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya. Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, istrinya.
Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, “Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu. Karena kamupun juga tidak sama persis dengan maunya. Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda. Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur.”
“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.
Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.
Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Dalam batin, dia bergumam, “Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
“Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku. Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.
“Wahai istriku, dikala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasehatiku.
“Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu? Dengan alasan apa aku perlu marah padamu? Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan malaikat.
“Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah swt. Segala puji hanya untuk Allah swt yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun terlelap.
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat kaget.
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?” Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya.
Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati. Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.
“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.
“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..”

Selasa, 03 Maret 2015

Makna Cinta Sejati


Dikutip dari sebuah kisah yang beredar via social media:

Pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar jam 9:30, seorang kakek berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu-jarinya. Saya menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, sebab semua dokter masih sibuk dan mungkin dia baru dapat ditangani setidaknya 1 jam lagi.

Sewaktu menunggu, pria tua itu nampak gelisah, sebentar-sebentar melirik ke jam tangannya. Saya merasa kasihan. Jadi ketika sedang luang, saya sempatkan untuk memeriksa lukanya. Nampaknya cukup baik, sudah kering dan tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, saya putuskan untuk melakukannya sendiri.

Sambil menangani lukanya, saya bertanya apakah dia punya janji lain hingga tampak terburu-buru. Lelaki tua itu menjawab "tidak". Dia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama istrinya, seperti yang dilakukannya sehari-hari.

Dia menceritakan bahwa istrinya sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu dan istrinya mengidap penyakit Alzheimer. Lalu saya bertanya apakah istrinya akan marah kalau dia datang terlambat. Dia menjawab bahwa istrinya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak 5 tahun terakhir. Saya sangat terkejut dan berkata,

“Bapak masih pergi ke sana setiap hari walaupun istri Bapak tidak kenal lagi?”

Dia tersenyum sambil tangannya menepuk tangan saya dan berkata, “Dia memang tidak lagi mengenali saya, tetapi saya masih mengenali dia, kan..?”

Saya terus menahan air mata sampai kakek itu pergi. Cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.

Bagi saya pengalaman ini juga menyampaikan satu pesan penting: "Orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, melainkan dapat berbuat yang terbaik dengan apa yang mereka miliki."

Luar Biasa!!!

Senin, 02 Maret 2015

Takut dan Asa

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Mukmin itu semestinya selalu ada di dua rasa ...
Takut dan Harapan ..

Takut....jangan-jangan masih ada dosa2 yang belum diampuni
Takut... bisa jadi amalan selama ini tidak diridhai
Takut... kalau2 ilmu yang dipelajari membuat tinggi hati
Takut... bisa saja setiap istighfar ini... membutuhkan istighfar lagi

Dan harapan....
Semoga saja selalu diingatkan atas setiap salah dan dosa .. agar jangan sampai diri merasa aman dari salah

Sebab.....
Hukuman terberat atas suatu dosa adalah perasaan tidak berdosa ( Ibnul Jauzi )

Perasaan tidak berdosa….
Tidak berdosa…..

_____________

Apapun penyebabnya ...
Apapun jenis masalahnya ...

Jika saat ini kamu merasa sepi, sendiri .. hampa, jatuh, rasa tidak berguna, males bangkit dan lain-lain...

Coba simak nasehat ini :

"Yang menimbulkan takut dan duka adalah kesepian jiwa, jiwa yang tidak mendapat teman karib....Maka siapakah teman karib yang lebih daripada Tuhan?....Siapakah teman karib yang lebih daripada Malaikat? Duduk sendiri pun kita ramai juga" (Buya Hamka - Pandangan Hidup Muslim)

MOHON MAAF ATAS SEGALA KHILAF