Kamis, 26 Februari 2015

MUSIBAH TERBESAR



Suka merasa sedih kalau lihat orang yang dalam hidupnya... hatinya selalu terbungkus AMARAH... CURIGA dan PRASANGKA (baik prasangka kepada manusia maupun kepada taqdir Allah)
Jadi selayaknya jadi manusia itu jangan sambatan atau mengeluh terus ...

Allah Ta'ala MENCABUT satu saja rasa tenang... dunia sudah serasa kiamat. Dimana mencari hidup yang sempurna di dunia ini kawan?

Mungkin selama ini diri terlalu banyak "dimanjakan".... tidur pulas... dibuai berjuta rasa senang... dan kenyamanan...

Sudah saatnya diri terjaga dari mimpi dan menghadapi realita hidup dengan lebih cerdas.

Ampunan Allah tiada batasnya...
Maka jangan membatasi diri dalam meraih ampunannya.

Tetaplah semangat untuk memperbaiki diri dan jauhilah segala keputusasaan.
Karena menjadi lebih baik harus menjadi kepastian tekad didalam hati.

Manusia kala ditimpa UJIAN berat biasanya sibuk melihat ke kanan... kiri... depan.. dan belakang laksana juru parkir

Terus menerus mencari kambing hitam dan pembenaran atas perbuatannya....SAMPAI-SAMPAI LUPA UNTUK MELIHAT KE "ATAS"

Beri waktu pada HATI untuk merenung dan untuk melihat perihal asal darimana datangnya sebuah ujian.

mari menjadi pribadi yang lebih baik lagi disetiap harinya

Selasa, 24 Februari 2015

SAAT KITA SEDANG DIUJI


MENGAPA ORANG BAIK SERING TERSAKITI?
Karena orang baik selalu MENDAHULUKAN orang lain... dalam ruang kebahagiaannya...ia tak menyediakan untuk dirinya sendiri, kecuali hanya sedikit.

MENGAPA ORANG BAIK KERAP TERTIPU?
Karena orang baik selalu MEMANDANG orang lain tulus seperti dirinya.... ia tak menyisakan sedikitpun prasangka bahwa orang yg ia pandang penyayang mampu mengkhianatinya

MENGAPA ORANG BAIK KERAP DINISTA?
Karena orang baik tak pernah DIBERI kesempatan membela dirinya... ia hanya harus menerima.. meski bukan dia yg memulai perkara

MENGAPA ORANG BAIK SERING MENETESKAN AIR MATA?
Karena orang baik tak ingin MEMBAGI kesedihannya.... ia terbiasa mengobati sendiri lukanya...dan percaya bahwa suatu saat Allah kan mengganti kesedihannya.

NAMUN ORANG BAIK TAK PERNAH MEMBENCI YANG MELUKAINYA.
Karena orang baik selalu MEMANDANG bahwa di atas semua, Allah-lah hakikatnya. Jika Allah menggiringnya...bagaimana ia akan mendebat kehendak-Nya.

Itu sebabnya orang baik tak memiliki almari DENDAM dalam kalbunya
Jika kau buka laci2 di hatinya...akan kau temukan HANYA CINTA yang dimilikinya.

Untuk itu tetaplah dalam aqidah Islam sesuai syariat, Lurus menuju jalan-Nya sekalipun hinaan dan sangkaan datang bertubi - tubi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.



Senin, 02 Februari 2015

HADITS YANG MEMBUAT SEBAGIAN ULAMA PINGSAN


Di antara ciri kemukjizatan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah singkatnya redaksi, mudah dipahami, namun mengandung hikmah yang amat besar bagi kehidupan kaum muslimin dan umat manusia. Seiring berjalannya waktu, kemukjizatan sabda Rasulullah semakin terbukti dengan ditemukannya manfaat-manfaat yang didapatkan jika seseorang mengamalkan hadits tersebut.
Lantaran mulianya hadits-hadits tersebut, generasi terdahulu umat ini telah memberikan sikap terbaik dalam memaknainya. Ada di antara mereka yang sampai pingsan saat mendapati dan menadabburi sebuah hadits.
Di dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Musthafa Dib al-Bugha dalam syarah Hadits Arba’in an-Nawawi, Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Hadits ini mengandung wasiat agung dan kaidah menyeluruh dari perkara-perkara agama.”
Lantaran agungnya muatan yang terkandung di dalamnya, “Sehingga sebagian Ulama mengatakan, ‘Aku menadabburi hadits ini sehingga membuatku tercengang dan hampir membuatku pingsan.’”
Mengakhiri keterangannya, Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Sungguh sangat disayangkan siapa yang tidak mengetahui hadits ini serta minimnya pemahaman terhadapnya.”
Hadits apakah yang dimaksud oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali ini? Seagung apakah muatannya hingga para ulama tercengang dan hampir pingsan tatkala merenungi makna yang terkandung di dalamnya?
“Hai, Ghulam,” sabda Nabi pada suatu ketika kepada Abdullah bin ‘Abbas, “Aku akan mengajarkan kepadamu suatu kalimat.”
Lanjut Rasulullah bersabda, “Jagalah Allah, maka Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatinya di hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.”
“Ketahuilah, jika seandainya suatu umat bersatu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu, kecuali apa yang telah dituliskan Allah Ta’ala untukmu.” Lanjut Rasulullah, “Dan jika mereka bersatu untuk membuat satu bahaya kepadamu, niscaya tidak akan membahayakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah dituliskan Allah Ta’ala kepadamu.”
Terang Rasulullah mengakhiri sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dengan derajat Hasan Shahih ini, “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.”
Inilah hadits yang mulia dan memiliki kandungan nan menakjubkan bagi siapa yang berkehendak mengambil dan memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari. Hadits ini dimasukkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya yang monumental Arba’in an-Nawawi; kitab yang dicetak jutaan eksemplar dan disyarah oleh banyak ulama karena singkatnya redaksi, namun memiliki kandungan nan menakjubkan.
Semoga Allah Ta’ala memuliakan ulama-ulama nan ikhlas dengan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin.

Minggu, 01 Februari 2015

CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH


Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya.
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada disamping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pundari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan. siapa-siapa . “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismall diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.
Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu gerbang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapi, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isya, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tunjukkanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”